Friday, June 8, 2007

BOLEHKAH PEREMPUAN MELAYANI?

Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. (Gal. 3:28)

Sekelumit syair lagu yang berbunyi ‘wanita dijajah pria sejak dulu…’ mengusik saya. Realitanya, memang perempuan selalu dijadikan makhluk kedua atau bahkan ke sekian. Coba perhatikan, dalam budaya Jawa perempuan itu ‘konco wingking’ (teman belakang). Dalam budaya Tiongkok kuno, jika lahir bayi perempuan bisa ditukar dengan seekor kambing atau binatang lainnya yang dianggap lebih bermanfaat. Budaya Batak dulu pun mengatakan hal yang sama, ‘ucok lebih baik daripada butet’. Sehingga kalau ucok lahir, keluarga itu rela berhutang untuk merayakan hari lahir itu secara meriah. Hal itu tidak pernah terjadi jika butet yang lahir.
Jadi bagaimana? Apakah kita pun ikut-ikutan melarang anggota keluarga kita, yang berjenis kelamin perempuan, terlibat dalam pelayanan? Baik itu pelayanan di gereja, komsel atau pelayanan Kristen yang lain? Padahal kita tahu juga bahwa bukan hanya laki-laki saja yang membawa gambar Allah? Paulus telah memulai dengan pernyataan seperti yang dikutip dalam nats di atas. Baginya, dalam Kristus, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Semuanya sama. Tuhan tidak pernah memberi penilaian lebih kepada laki-laki dibanding kepada perempuan. Kalau memang begitu, tentu akan bertentangan dengan sifat Allah yang maha adil itu. Kalau memang perempuan itu mempunyai kompetensi dasar untuk terlibat dalam pelayanan Kristen, mengapa tidak dikembangkan? Toh di gereja lebih didominir oleh perempuan, bukan?
Jadi, kalau memang mampu dan mau, perempuan pun harus bisa membagikan hidup kepada semua orang dalam pelayanan, asal tidak meninggalkan tanggung jawab dalam rumah-tangganya. [AR]


BERKACA PADA PELANGI

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:27)

Pernahkah Anda terlibat dalam adu argumentasi, dan Anda merasa bahwa pendapat Andalah yang paling benar? Sering terjadi, jika keadaan sudah memanas, kita bahkan tidak mau mendengarkan penjelasan lawan bicara kita. Apapun yang dikatakan olehnya pasti salah. Kalaupun perdebatan itu selesai, namun hati kita masih kesel dan mungkin gondok, jika mengingat perdebatan itu lagi. Tahukah Anda, ternyata perbedaan pendapat semacam ini sudah dimulai sejak manusia berada di Taman Eden dan sudah memakan banyak korban.
Menurut saya, harus ada kemauan untuk ‘menahan diri dan sabar’ jika sampai terjadi perdebatan (Yesus telah memberi teladan untuk ini). Apabila keadaan semakin memanas karena ketidaksepakatan, jalan terbaik yang diperlukan adalah nasihat Alkitab supaya dapat melahirkan keputusan yang bijaksana. Jika tujuan sama, walau cara tidak sama, yaitu untuk memuliakan Allah, sebenarnya tidak perlu sampai kepada keributan besar. Tidak perlu sakit hati dan mendendam.
Masalah sering muncul karena kita memaksa orang lain harus menjadi sama seperti kita. Baik dalam cara menyusun konsep pikir, cara menyampaikan pendapat, bahkan sampai ke gaya bicara, semua harus seperti kita. Itu sebabnya kita merasa nyaman dekat dengan orang yang sama seperti kita, dan tidak nyaman jika kita dekat dengan orang yang tidak sama dengan kita. Padahal itu jelas tidak mungkin. Karena Tuhan membuat manusia itu unik, tidak ada duanya.
Dari nats di atas, pernahkah Anda berpikir mengapa Tuhan tidak membuat hanya laki-laki atau perempuan saja? Bukankah Tuhan bisa membuat hanya laki-laki atau perempuan saja? Mengapa dalam gambar pemandangan, warna langit tidak sama dengan gunung, sungai, pohon, burung dan sebagainya? Kepelbagaian adalah keindahan. Pelangi itu sangat indah justru karena terdiri dari berbagai macam warna yang terikat dalam kesatuan. [AR]


MERTUA JUGA MANUSIA

“Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegorlah dia sebagai bapa.” (1 Tim. 5:1)

Kalau sudah menikah dan ternyata belum bisa beli rumah sendiri, maka “Rumah Mertua Indah” pun menjadi pilihan terakhir. Dan, bagi mereka yang pernah tinggal bersama mertua, pasti pernah merasakan betapa ‘menyenangkan’ tinggal bersama mereka. Atau, mungkin kasusnya lain. Yaitu karena sudah ‘mapan’ ekonominya dan bisa membeli rumah, maka mertuanya diajak untuk hidup bersamanya. Mungkin dua kasus ini sama, namun berbeda. Tapi tetap ada persamaannya, yaitu tinggal bersama mertua.
Secara psikologis, setiap orang tua akan mengalami masa-masa regresi, dimana ia akan kembali ke tingkah laku kekanak-kanakan. Minta diperhatikan, mudah pundung, suka ke tetangga dan menceritakan kejelekan menantunya di sana. Wah, pasti sangat menjengkelkan sekali. Sebagai contoh, menantu sudah mempersiapkan sarapan pagi buat mertua, dan mertua pun sudah makan sarapan yang sudah disediakan. Tidak ada masalah. Tapi, begitu mertua keluar rumah, ke rumah tetangga, ia bisa saja ‘lupa’ bahwa telah sarapan pagi, dan meminta sarapan di rumah tetangga tersebut. Tentunya, jika menantu mendengar hal ini, bisa menimbulkan kekecewaan. Sehingga seringkali ditemukan, hubungan antara mertua dengan menantu tidak harmonis.
Jadi bagaimana? Supaya mertua ‘betah’ di rumah, coba usahakan meminjam kaset kotbah di gereja atau video yang bisa membangun kerohaniannya. Ikut komsel lansia, supaya dalam komunitas yang sehat itu ia bisa bertumbuh. Walaupun menjengkelkan, jangan sampai mertua dibentak-bentak dengan kasar. Apalagi sampai dipukul atau dimaki-maki. Di samping itu tidak manusiawi, juga sangat tidak Kristiani. Ingat sekali kelak, kita pun akan menjadi tua, dan mungkin lebih menjengkelkan dari mertua kita. [FL]


MAHKOTA DAN KEBANGGAAN

Anak-anak cucu adalah mahkota bagi yang lanjut usia, dan para orang tua adalah kebanggaan bagi anak-anak mereka. (Amsal 17:6 NIV)

Pada masa kini, bukan lagi hal yang luar biasa jika kita menelusuri latar belakang seorang kriminal atau orang yang melakukan hal-hal yang ekstrim dan negatif adalah orang yang memiliki hubungan yang tidak harmonis dalam keluarganya. Entah dia berasal dari keluarga yang ‘broken home’ (orang tuanya bercerai) atau berada dalam suatu keluarga namun orang tuanya tidak berfungsi dan hubungan antar anggota keluarganya tidak harmonis.
Jika kita merenungkan ayat di atas, kita akan menyadari bahwa Tuhan menghendaki adanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam setiap keluarga yang takut akan Dia. Ini berarti Tuhan mau kita sebagai anggota keluarga baik sebagai orang tua, anak bahkan cucu, mengupayakan terjalinnya hubungan yang harmonis tersebut.
Untuk mencapai hal tersebut Firman Tuhan berkata agar kita menjadi terang yaitu yang memancarkan cahaya sekalipun keadaan di sekeliling kita berada dalam kegelapan. Artinya kita perlu berinisiatif untuk mengupayakan keharmonisan dalam keluarga kita. Usaha itu bisa dikerjakan dengan berbagai macam cara dan ditumbuhkan dalam kebersamaan.
Sahabat NK, mari kita taat pada FirmanNya. Sebagai anak marilah kita belajar untuk dapat menghormati orang yang diatas kita. Sebagai orang tua marilah kita menjadi teladan dan mendidik anak cucu kita dalam kebenaran. Keluarga yang harmonis akan mewariskan berkat dan kebahagiaan bagi anak cucunya. Sehingga anak cucu kita akan seperi mahkota dan kita akan menjadi kebanggaan bagi anak-anak kita. [WT]

No comments: